Rss Feed
  1. Bahaya Laten Ngapusi

    Tuesday 10 December 2013

    Bismillaahirrahmaanirrahiim :)


    21.56 WIB di Ruang Tamu, Selasa, 23 Juli 2013

    Romi and Tiwi

                Perbincangan malam ini dengan adik saya nomor sulung :")
                “Kamu ranking berapa Le?”
                “Delapan Belas Mba.”
                “Eh Hlaa kok naiknya bisa drastis gitu *semester kemarin dia masuk sepuluh besar*” berbau sindiran halus.
                “Hlaa temen temen pada nyontek gitu koh!”sedikit tak terima.
                “Kamu tahunya mereka nyontek?” Memastikan.
                “Ya kan aku melihatnya mba. Akukan juga punya mata!”
                “Haha hla kamu enggak ikut nyontek?” Menguji.
                “Enggaklah, aku kan jujur!” Pembelaan.
                “Masa?” sedikit menguji.
                “Iyo! Nyonto ki nggo ngopo mba?! Ra guno yo!”
                *Senyum simpul. Bangga.
                Ada perasaan bangga menyusup halus ketika kalimat terakhir dalam dialog itu terluncurkan dari bibir kecil remaja lima belas tahun yang sekarang resmi menduduki kelas IX sebuah sekolah menengah pertama negeri di kecamatan. :) Kakak bangga padamu dhik :)
                Namun hati sedikit tersentil betapa pemujaan akan nilai telah membudaya di masa sekolah menengah pertama. Betapa pengagungan terhadap nilai telah terjadi di masa pendidikan yang terbilang masih muda. Juga betapa minimnya kesadaran atas hakekat proses belajar.
                Dan betapa mirisnya menyadari bahwa budaya menjiplak sudah begitu dini membauri pelajar sekarang ini. Ada banyak cara yang mereka lakukan untuk mendapat nilai terbaik, cara yang terhitung membohongi kemampuan diri. Dari sekedar melempar kertas berisi jawaban ujian hingga bertukar kertas ujian yang telah berisi jawaban. Juga beberapa kode yang kadang terselip dari bahasa tubuh mereka. Menyentuh mata untuk A. Menggaruk hidung untuk B. Memegang telinga untuk C. Lalu dagu untuk D juga masih banyak kode kode yang tersebar dikalangan pelajar. Juga gerakan gerakan lincah bergerilya dengan pengawas. Subhanallah, betapa kreatifnya pelajar sekarang. :") Kreatif dalam hal yang kurang baik sayangnya.
                Salahkan cara mereka meraih prestasi?
                Salahkan mereka yang hanya mencoba beradaptasi?
                Salahkah mereka ingin berkreasi?
                Tidak perlu menyalahkan siapapun ketika ternyata memang menemukan tersangka tak akan menemukan solusi.
                Bagi pelajar, “ini cukup legal bukankah ini salah satu cara membahagiakan orang tua? Dengan nilai yang bagus tentu akan membanggakan orang tua bukan? Memenuhi tuntutan mereka untuk berprestasi, toh kesempatan menjiplak lebar terbuka. Pengawas yang asik dengan handphonenya, pengawas yang sibuk berbincang, pengawas yang sibuk dengan headline surat kabar. Juga pengawas yang tak ada ditempat. Hei, suatu tindakan terjadi bukan hanya karena ada niatan dari pelakunya, namun juga adanya kesempatan. Jangan salahkan kita dong!”
                Bagi guru, “Meninggalkan mereka saat ujian adalah bentuk kepercayaan kami pada siswa siswi kami. Terkadang kehadiran pengawas hanya akan menambah tekanan, dan dalam kondisi tertekan hasil yang optimal kurang tercapai. Wajar dong!”
                Bagi orang tua. “Bahkan ketika anak kami menjiplak disana mereka sedang belajar menyaring informasi, memilih dan memilah mana yang lebih tepat dan paling mendekati benar. Itu juga proses. Ada yang salah?!”
                Ketika ujian seharusnya adalah bahan untuk evaluasi hasil belajar, untuk mengukur sampai mana sebuah proses pembelajaran berhasil terserap secara optimal, untuk membuat pijakan baru menindak lanjuti diri yang kian berkembang. Kenapa harus ternodai oleh budaya tak indah yang bahkan membohongi.
                Mencontek. Menjiplak. Atau belajar saat ujian berlangsung. Bagaimana akan mendapat data kemampuan yang valid jika jelas yang berfikir hanya seorang yang telah belajar semalam sebelumnya?! Bagaimana dikatakan valid jika uraian jawaban adalah saduran dari sebuah search engine dari smarthphone?! Bagaimana dikatakan valid jika buku masih menjadi refrensi utama tanpa pernah tertuang fikir obyektif dari diri?! Bagaimana akan terjadi evaluasi jika ternyata semua hanya ilusi?! Ah siapa peduli jika nyata semua tahu dan membiarkannya. Ah siapa peduli jika ini sudah cukup membahagiakan mereka. Ah siapa peduli jika bertemu orang toh yang ditanya hasil akhirnya. Ah siapa peduli jika begitulah yang diminta.
                Saya tidak akan merutuk kegelapan pandang disini. Merutuk tak akan menyelsaikan masalah bukan? Merutuk hanya akan mempergelap ruang bernama salah pandang. Salah persepsi tentang makna prestasi.
                Setau saya prestasi, ialah hasil yang telah diraih. Apapun itu ketika telah ada ikhtiar di awal lalu berserah diri atas iktiar yang dilakukan, apapun hasilnya ialah prestasi. J Bahkan ketika adik saya mendapat ranking 18 dari empat puluh siswa dikelasnya itu adalah prestasi. Meski sempat menyayangkan dia tergeser dari sepuluh besar, namun jika ternyata adik saya masih berjalan lurus dalam ikhtiarnya insya Allah lebih berkah. Dan saya percaya inilah yang terbaik yang digariskan. Allah tidak akan pernah bertanya berapa nilaimu? Berapa ranking dalam raportmu. Allah hanya meminta pertanggungjawaban atas proses mendapatkan nilai itu. Sayangnya, mereka lupa. L
                Mereka lupa bahwa prestasi tidak melulu juara satu, dua, tiga. Prestasi juga tidak harus juara dalam kompetisi tingkat nasional. Ketika pelajar telah melaksanakan hakekatnya sebagai seorang pebelajar itu juga prestasi. Di kelas ia belajar mendengarkan dan menyerap ilmu atas materi yang tersajikan. Di rumah dia menambah materi untuk menyiapkan esok. Di masyarakat dia berlahan mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Bukan semata untuk mendapat ranking atau juara, namun juga agar ilmu yang ia miliki memberikan kemanfaatan pada sekitar. Alangkah tidak lucu ketika seorang juara kelas namun tak mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Alangkah sayangnya ilmu yang terserap namun tak pernah memberikan terang pada lingkungan. J
               
                “Hakekatnya seberapapun hasil akhir yang diperoleh, berbanggalah jika itu hasil usaha sendiri, meski hasil itu sangatlah kecil. Sesungguhnya bukan hasil akhirlah yang wajib di lihat namun proses kita memperoleh hasil akhir lah yang hendaknya kita fokuskan”. Tunggu sampai Ibuku mendengarku berbicara ini. Beliau pasti akan bangga padaku ahahaha. Karena Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk berhasil, namun Tuhan hanya membekali kita untuk berusaha __________Prince Of Nyontek by Risa RiiLeon :")
    ^O^
                “Mencontek adalah pelajaran awal yang akhirnya adalah korupsi. Keduanya menganut ilmu yang sama, yakni ketidakjujuran. Jadi kalau mau mengentaskan korupsi di Indonesia, berantas dulu kegiatan mencontek di kalangan pelajar!” ________Ramaditya Adikara
    ^O^
    عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
                “Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR al-Bukhari dan Muslim, teks hadis mengikuti versi Muslim).
     
    "Dilarang Mencontek!"



     

  2. 0 comments: